|
PEKANBARU - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan
perpanjangan penahanan terhadap Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) nonaktif,
Andi Putra. Penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti terkait suap yang diterima
oleh politisi Partai Golkar itu.
Andi Putra diduga menerima suap dari PT Adimulia Agrolestari
terkait pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit di
Kabupaten Kuansing. Putra mantan Bupati Kuansing Sukarmis itu terjaring Operasi
Tangkap Tangan (OTT) KPK dan jadi tersangka.
Saat ini, Andi Putra ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK
pada Gedung Merah Putih, Jakarta. "Tim Penyidik KPK memperpanjang masa
penahanan tersangka AP untuk 30 hari terakhir," ujar Plt Juru Bicara KPK,
Ali Fikri, Selasa (18/1/2022).
Ali mengatakan perpanjangan penahanan terhadap Andi Putra
berdasarkan penetapan kedua dari Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru. Penahanan
terhitung 17 Januari 2022 sampai 15 Februari 2022 di Rutan KPK pada Gedung
Merah Putih.
"Tim penyidik masih terus mengumpulkan berbagai alat bukti
dengan tetap menjadwalkan pemeriksaan saksi-saksi serta pemeriksaan tersangka
untuk menguatkan dugaan perbuatan tersangka dimaksud," jelas Ali.
Perpanjangan penahanan ini merupakan yang ketiga sejak Andi
Putra ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Oktober 2021 lalu. Ketika itu Andi
Putra ditahan selama 20 hari hingga 8 November 2021.
Perpanjangan penahanan pertama selama 40 hari mulai 8 November
hingga 17 Desember 2021. Perpanjangan penahanan kedua dilakukan selama 30 hari
terhitung 18 Desember 2021 sampai 16 Januari 2022.
Dalam perkara ini, KPK juga menetapkan General Manager PT
Adimulia Agrolestari, Sudarso, sebagai tersangka. Saat ini, perkara pemberi
suap terhadap Andi Putra sedang diproses di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan
Negeri Pekanbaru
Diketahui suap berawal karena PT Adimulia Agrolestari ingin
melanjutkan keberlangsungan usahanya dengan mengajukan
perpanjangan HGU yang dimulai pada 2019 dan akan berakhir di tahun 2024.
Salah satu persyaratan untuk kembali memperpanjang HGU itu
adalah dengan membangun kebun kemitraan minimal 20 persen dari HGU yang
diajukan. Lokasi kebun kemitraan 20 persen milik PT AA yang dipersyaratkan
terletak di Kabupaten Kampar, dan seharusnya berada di Kuansing.
Agar persyaratan ini dapat terpenuhi, Sudarso kemudian mengajukan
surat permohonan ke Andi Putra selaku Bupati Kuansing dan meminta supaya kebun
kemitraan PT AA di Kampar disetujui menjadi kebun kemitraan.
Selanjutnya, dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi Putra.
Dalam pertemuan tersebut, Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam
mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit
Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun
di Kuansing dibutuhan minimal uang Rp2 miliar.
Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga
telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra uang sebesar
Rp500 juta. Berikutnya, pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali
menyerahkan uang ke Andi Putra sebanyak Rp200 juta.
Andi Putra dan Sudarso terjaring operasi tangkap tangan yang
dilakukan KPK pada Senin (18/10/2021). Ketika itu juga diamankan Hendri
Kurniadi, Ajudan Bupati, Andri Meiriki, Staf bagian umum persuratan Bupati.
Lalu Deli Iswanto, supir Bupati, Paino, Senior Manager PT AA,
Yuda, sopir PT AA dan Juang, sopir. Setelah diperiksa, KPK menetapkan Andi
Putra dan Sudarso sebagai tersangka, dan menahannya.
Dalam kegiatan tangkap tangan, KPK menemukan bukti petunjuk
penyerahan uang Rp500 juta, uang tunai dalam bentuk rupiah dengan jumlah total
Rp80,9 juta, mata uang asing sekitar SGD1.680 dan serta HP Iphone XR.
Atas perbuatannya, Andi Putra selaku penerima disangkakan
melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11
Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tersangka Sudarso selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5
ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
0 Komentar